Busana adat ke Pura untuk putra
Dalam menggunakan busana adat Bali diawali dengan
menggunakan kamen. Lipatan kain/kamen (wastra) putra melingkar dari kiri ke
kanan karena laki-laki merupakan pemegang dharma. Tinggi kamen putra kira-kira
sejengkal dari telapak kaki karena putra sebagai penanggung jawab dharma harus
melangkah dengan panjang. Tetapi harus tetap melihat tempat yang dipijak adalah
dharma. Pada putra menggunakan kancut (lelancingan) dengan ujung yang lancip
dan sebaiknya menyentuh tanah (menyapuh jagat), ujungnya yang kebawah sebagai
symbol penghormatan terhadap Ibu Pertiwi. Kancut juga merupakan symbol
kejantanan. Untuk persembahyangan, kita tidak boleh menunjukkan kejantanan
kita, yang berarti pengendalian, tetapi pada saat ngayah kejantanan itu boleh
kita tunjukkan. Untuk menutup kejantanan itu maka kita tutup dengan saputan
(kampuh). Tinggi saputan kira-kira satu jengkal dari ujung kamen. Selain untuk
menutupi kejantanan, saputan juga berfungsi sebagi penghadang musuh dari luar.
Saput melingkar berlawanan arah jarum jam (prasawya). Kemudian dilanjutkan
dengan menggunakan selendang kecil (umpal) yang bermakna kita sudah
mengendalikan hal-hal buruk. Pada saat inilah tubuh manusia sudah terbagi dua
yaitu Butha Angga dan Manusa Angga. Penggunaan umpal diikat menggunakan simpul
hidup di sebelah kanan sebagai symbol pengendalian emosi dan menyama. Pada saat
putra memakai baju, umpal harus terlihat sedikit agar kita pada saat kondisi
apapun siap memegang teguh dharma. Kemudian dilanjutkan dengan menggunakan baju
(kwaca) dengan syarat bersih, rapi dan sopan. Baju pada busana adat terus
berubah-rubah sesuai dengan perkembangan. Pada saat ke pura kita harus
menunjukkan rasa syukur kita, rasa syukur tersebut diwujudkan dengan
memperindah diri. Jadi, pada bagian baju sebenarnya tidak ada patokan yang
pasti. Kemudian dilanjutkan dengan penggunakan udeng (destar). Udeng secara
umum dibagi tiga yaitu udeng jejateran (udeng untuk persembahyangan), udeng
dara kepak (dipakai oleh raja), udeng beblatukan (dipakai oleh pemangku). Pada
udeng jejateran menggunakan simpul hidup di depan, disela-sela mata. Sebagai
lambing cundamani atau mata ketiga. Juga sebagi lambang pemusatan pikiran.
Dengan ujung menghadap keatas sebagai symbol penghormatan pada Sang Hyang Aji
Akasa. Udeng jejateran memiliki dua bebidakan yaitu sebelah kanan lebih tinggi,
dan sbelah kiri lebih rendah yang berarti kita harus mengutamakan Dharma.
Bebidakan yang dikiri symbol Dewa Brahma, yang kanan symbol Dewa Siwa, dan
simpul hidup melambangkan Dewa Wisnu Pada udeng jejateran bagian atas kepala
atau rambut tidak tertutupi yang berarti kita masih brahmacari dah masih
meminta. Sedangkan pada udeng dara kepak, masih ada bebidakan tepai ada
tambahan penutup kepala yang berarti symbol pemimpin yang selalu melindungi
masyarakatnya dan pemusatan kecerdasan. Sedangkan pada udeng beblatukan tidak
ada bebidakan, hanya ada penutup kepala dan simpulnya di blakan dengan diikat
kebawah sebagai symbol lebih mendahulukan kepentingan umum daripada kepentingan
pribadi.
v Busana adat ke Pura
untuk putri
Sama seperti busana adat putra, pertama diawali dengan
menggunakan kamen. Lipatan kain/kamen melingkar dari kanan ke kiri karena
sesuai dengan konsep sakti. Putri sebagai sakti bertugas menjaga agar si
laki-laki tidak melenceng dari ajaran dharma. Tinggi kamen putri kira-kira
setelapak tangan karena pekerjaan putri sebagai sakti itu sangat banyak jadi
putri melangkah lebih pendek. Setelah menggunakan kamen untuk putri memakai
bulang yang berfungsi untuk menjaga rahim, dan mengendalikan emosi. Pada putri
menggunakan selendang/senteng dikiat menggunakan simpul hidup di kiri yang
berarti sebagai sakti dan mebraya. Putri memakai selendang di luar, tidak
tertutupi oleh baju, agar selalu siap membenahi putra pada saat melenceng dari
ajaran dharma. Kemudian dilanjutkan dengan menggunakan baju (kebaya) dengan
syarat bersih, rapi, dan sopan. Penggunaannya sama seperti baju pada putra.
Kemudian dilanjutkan dengan menghias rambut. Pada putri rambut dihias dengan
pepusungan. Secara umum ada tiga pusungan yaitu pusung gonjer untuk putri yang
masih lajang/belum menikah sebagai lambang putri tersebut masih bebas memilih
dan dipih pasangannya. Pusung gonjer dibuat dengan cara rambut di lipat
sebagian dan sebagian lagi di gerai. Pusung gonjer juga sebagai symbol
keindahan sebagai mahkota dan sebagai stana Tri Murti. Yang kedua adalah pusung
tagel adalah untuk putri yang sudah menikah. Dan yang ketiga adalah pusung
podgala/pusung kekupu. Biasanya dipakai pleh peranda istri. Ada tiga bunga yang
di pakai yaitu cempaka putih, cempaka kuning, sandat sebagai lambing dewa Tri
Murti.
Dari uraian diatas, saat kita berhubungan dengan Tuhan yang
kita mulai dari bawah. Kita rapikan dan kendalikan dahulu dari bawah lalu
keatas. Nah itulah tahapan-tahapan kita dalam menggunakan busana adat. Dengan
mebaca uraian diatas hendaknya kita bisa mewujudkan hal itu. Karena jika kita
sudah memahami yang benar dan tidak melaksakannya kita akan berdosa. Dan jika
anda tahu salah dan tidak memperbaikinya dosanya akan bertambah besar. Dengan memahami busana adat ke pura,
setidaknya kita bisa menjadi umat Hindu yang baik. Uraian diatas silahkan
ditiru atau tidak karena agama tidak pernah memaksaan umatnya. Sekarang
silahkan turuti kata hati anda. Trima kasih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar